Teori kenabian menurut filosof dan sufi

                                                           BAB I
                                                 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam agama Islam teori kenabian telah menjadi perdebatan yang sangat kuat hingga saat ini. Akan tetapi, perhatian umat islam belum terlalu besar pada hal ini. Namun,  teori kenabian ini menjadi tema perdebatan yang sangat menarik dalam pemikiran serta  pendapat para ahli filosof dan sufi. Sehingga memunculkan pandangan yang berbeda-beda. Salah satu tokoh filosof dan sufi yang menaruh perhatian besar atas teori kenabian ini ialah Al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi.
Menurut Al-Ghazali tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi ialah hal luar biasa, karena kenabian tidak bisa didapatkan dengan cara pelatihan-pelatihan, seperti halnya kaum sufi dan para wali, karena kenabian merupakan suatu anugerah Ilahi yang Allah berikan pada orang yang benar-benar pilihan. Al-nubuwwat hanya ada untuk para nabi melalui wahyu Tuhan, sedangkan selain itu disebut sebagai ilham, semisal yang terjadi pada waliyullah.
Sedangkan menurut Ibn ‘Arabi, ia berpendapat bahwa kedudukan wali itu lebih tinggi daripada kedudukan seorang nabi. Karena kesempurnaan dan kesucian hanya ada pada wali bukan kenabian. Bahkan beliau menjadikan kenabian sebagai cabang dari kewalian. Dengan kata lain, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa kenabian tidaklah mendapat sebuah ilmu pengetahuan selain dari pintu kewalian.
Pada dasarnya setiap nabi adalah seorang filosof, tapi seorang filosof belum tentu Nabi. Seorang Nabi apabila berijtihad nilai benar atau salah dari hasil akhir pencariannya akan senantiasa langsung diklarifikasi oleh Allah SWT lewat wahyuNya. Sehingga letak kedudukan benar atau salah dari hasil pencariannya itu mendapat kepastian langsung dari Allah yang maha tahu.
Pada pembahasan ini, penulis mengambil dua tokoh filosof dan sufi yang mempunyai pengaruh besar pada zamannya hingga saat ini. Dua tokoh tersebut ialah Al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, mereka mempunyai pandangan yang berbeda tentang teori kenabian. Oleh karena itu, pembahasan ini sangat menarik dan layak untuk dikaji, selain itu kita dapat mengetahui makna dan hikmah dari adanya kenabian.
Dari permasalahan dan pernyataan di atas, maka penulis akan membahas lebih lanjut tentang Teori Kenabian (antara nabi dan filosof) Menurut Pandangan Filosof dan Sufi.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana Konsep An-Nubuwwah ?
2. Bagaimana teori kenabian menurut pandangan  Ibn ‘Arabi?
3. Bagaimana teori kenabian menurut pandanganAl-Ghazali?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan Konsep An-Nubuwwah.
2. Untuk mengetahui teori kenabian menurut pandangan  Ibn ‘Arabi.
3. Untuk mengetahui teori kenabian menurut pandangan Al-Ghazali.






                                                                  BAB II
                                                          PEMBAHASAN


2.1 Konsep Kenabian atau An-Nubuwwah
Pada hakikatnya konsep kenabian adalah suatu bentuk upaya paling penting yang pernah dilakukan oleh para filsuf Muslim dalam mendamaikan filsafat dan agama, akal dan naql, bahasa langit dan bahasa bumi. Suatu usaha interpretatif bagaimana bahasa langit dapat sampai kepada manusia penghuni bumi untuk membangun agama yang berlandaskan akal.  Setiap agama samawi merupakan manifestasi visi Tuhan melalui proses wahyu dan ilham yang diberikan kepada Nabi maupun RasulNya. Seorang Nabi adalah manusia yang diberi kemampuan untuk berhubungan dengan-Nya dan mengekspresikan kehendak-Nya. Ia merupakan penghubung antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Dalam perspektif filsafat Islam, usaha rasionalisasi dari wahyu agama tersebut, diwujudkan dalam teori emanasi (Nadhariyatul faidl) yang dikembangkan oleh beberapa filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan al-Farabi.
Menurut al-Farabi, Tuhan memancarkan akal-akal yang masing-masing memiliki planet-planet untuk diatur. Akal adalah wujud kedua setelah Tuhan yang merupakan Wujud Pertama. Dari akal tersebut muncul akal-akal yang lain sampai akal kesepuluh yang mengatur bumi. Akal ini meneruskan emanasi Ilahi ke manusia ke permukaan bumi. Yang dipancarkan Tuhan itu adalah ilmu yang dapat ditangkap oleh akal perolehan filsuf.   Nabi sendiri memiliki akal potensial yang dayanya jauh lebih tinggi dari daya perolehan filsuf, sehingga tanpa usaha, seorang nabi dengan langsung dapat berhubungan dengan akal kesepuluh yang juga adalah Jibril.
Keterkaitan teori kenabian terletak pada teori akal kesepuluh ini yang merupakan pancaran Ilahi dan tidak hanya berupa ilmu yang dapat diterima oleh akal nabi akan tetapi juga wahyu. Kenabian mempunyai karakteristik sebuah gambaran imajinatif yang berkaitan erat dengan al-aql al-fa‘al yang langsung berhubungan dengan tuhan, baik dalam keadaan sadar maupun tidak, dan dapat mencapai visi dan inspirasi.  Dan daya imajinasi nabi yang dianugerahkan Allah kepadanya lebih kuat daripada akal mustafâd filsuf.
Menurut Ibn Sina jiwa manusia yang disebut juga (القوة الناطقة) mempunyai dua daya: praktis dan teoritis. Daya praktis hubungnnya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai tingkatan sebagai berikut:
2.1.1 Akal Materiil (العقل الهيولاني)  yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
2.1.2 Akal Al-Malakat(العقل الملكة) yang telah memulai dilatih untuk berpikir hal-hal abstrak.
2.1.3 Akal Aktual (العقل بالفعل)yang dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
2.1.4 Akal Mustafad (العقل المستفاد)yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal yang abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
Teori nabi atau nubuwwah secara etimologis berasal dari kata naba’a-yanba’ yang berarti berita, karena datang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sehingga al-nubuwwah adalah berita tentang kegaiban atau berita yang datang dengan ilham dari Tuhan.
Kenabian menurut al-Ghazali merupakan suatu fase di mana di dalamnya terdapat mata yang bercahaya. Dengan cahayanya tersebut tampak hal-hal yang gaib dan yang tidak diketahui oleh akal.  Posisinya lebih tinggi daripada akal, karena ia merupakan petunjuk dan rahmat yang diberikan langsung oleh Allah. Sebagaimana anak kecil yang baru dapat membedakan antara baik dan buruk pada masa tamyiz di mana akal sudah mulai sempurna. Di sini akal kedudukannya lebih tinggi daripada indera.
Sedangkan dalam interpretasi al-Hakim al-Tirmidhi, kenabian adalah pengetahuan tentang Allah dan terbukanya tabir sehingga dapat mengetahui rahasia-rahasia kegaiban. Ia juga merupakan mata untuk menyingkap segala sesuatu yang tersembunyi dengan cahaya Ilahi yang sempurna.  Suatu kalam yang disampaikan oleh Allah melalui perantara ruh.
Sedangkan Ibn Arabi mendefinisikan kenabian sebagai suatu kedudukan yang ditentukan oleh Allah kepada seorang hamba dengan akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan yang baik yang diketahui oleh hati dan tidak diingkari oleh jiwa, dibimbing oleh akal, serta sesuai dengan tujuan-tujuan yang mulia.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dikatakan bahwa seorang nabi adalah seorang yang diutus Allah demi kemaslahatan kehidupan dunia dan untuk memberi peringatan tentang akhirat. Nabi ialah seorang pilihan yang memiliki jiwa mulia, berpengetahuan, dan lebih mampu daripada orang lain pada zamannya dikarenakan kemuliaan jiwanya. Dengan kualitas daya dan kesiapan jiwanya yang jauh melebihi yang lainnya ia mampu untuk berkomunikasi dengan alam yang lebih tinggi, Allah. Komunikasi itu dapat melalui perantara akal kesepuluh, Jibril, maupun tanpa perantara berupa percakapannya dengan Allah dari balik tabir atau berupa wahyu. Ketiganya merupakan jalan kenabian menurut Ibn ‘Arabi.

2.2 Teori Kenabian menurut Ibn ‘Arabi
Dalam agama islam Teori kenabian merupakan tema kajian sengit yang belum bisa berhenti hingga saat ini. Salah satu tokoh filosof sufi yang punya pemikiran tentang teori kenabian yaitu Ibn Arabi. Jika kita menelaah pendapat Ibn Arabi tentang masalah ini, maka kita akan tahu bahwa Ibn Arabi secara tegas menyatakan dirinya sebagai pengikut setia nabi saw. Namun secara nyata, ia menyatakan bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian.  Pernyataan di atas mengindikasikan tidak adanya keselarasan antara pemikiran dan perbuatan.
Nama lengkap ibn Arabi Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Ali Muhyyiddin Al- Hatimi Ath- Thoi Al- Andalusi, dikenal dengan ibnul ‘Arabi (bukan Ibnul ‘Arabi ,-mqodhi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi- yang ahli tafsir). Ibn Arabi ini dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi, lahir di Murcia Spanyol, 17 Romadhon 560 H/28 Juli 1165 M, dan meninggal di Damaskus, Rabi’uts Tsani 638 H/ Oktober 1240.
Pengertian wali diambil dari firman Allah : الله وليّ الذين آمنوا Artinya: “ Allah adalah Wali-nya orang – orang yang beriman”. Muatan kata wali sebagaimana tarjih para ahli tafsir ath Thabarani, az- Zamakhsyari dan ar- Razi- menunjukkan makna al Qarb (dekat). Menurut kaidah bahasa wali artinya “ yang sangat dekat dengan sesuatu”. Sedangkan kedekatan kepada Allah, dari sisi tempat, arah adalah sesuatu yang dibenarkan. Maka waliyullah adalah orang orang yang dekat kepada-Nya dan memiliki sifat yang digambarkan Allah. Yakni iman dan takwa.
Pendapat di atas juga senada dengan pandangan para mutakallimin. Wali menurut para ahli kalam adalah orang yang memiliki akidah yang benar dan berdasar, serta melaksanakan amal sholeh, sesuai dengan syariat.
Dari kedua pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan wali yaitu orang- orang yang senantiasa mengabdikan seluruh jiwa raganya untuk lebih dekat dengan Allah melalui jalan takwa. Semua itu dilakukan atas dasar keimanan yang hakiki dan menuju kebahagian yang abadi.
Adapun makna kenabian menurut ibn ‘Arabi secara umum dan menetapkan bahwa kenabian berlangsung secara terus menerus. Selain itu ia berpendapat kesempurnaan dan kesucian hanya ada pada kewalian dan tidak pada kenabian. Bahkan, ia menjadikan kenabian sebagai sub ordinasi atau cabang kewalian.  Dengan kata lain ibn Arabi menyatakan bahwa kenabian tidaklah mendapat sebuah ilmu pengetahuan selain dari pintu kewalian.
Kegilaan para filosof sufi sebelum dirinya pada makrifat yakni plotunisisme yang mempengaruhi mereka terlena pada berbagai kelezatan dan makrifat yang ada disekitar kita, yang sebetulnya itu hanyalah sebuah khayalan- khayalan yang mereka ciptakan. Berdasarkan pandangan inilah ibn Arabi menjadikan kenabian sebagai suatu kekhusussan yang dapat dimiliki oleh nabi, para wali, atau para ulama’ yang mampu berhubungan dengan Allah.
Selain alasan ibn Arabi menjadikan para wali memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan nabi. Alasan ia memandang demikian adalah karena nama wali juga menyerupai nama Allah yang telah disebutkan dalam asmaul husna. Kegilaan ibn Arabi pada kata wali memunculkan sebuah pandangan bahwa didalam kata wali terkandung unsur ketuhanan dan entitasnya memenuhi nama itu. Sebaliknya nama nabi tidak mengandung makna demikian.
Fungsi para nabi adalah menyampaikan kepada umat manusia apa yang baik dan apa yang buruk bagi keseluruhan diri. Karena sejatinya manusia tidak bisa mengenali diri sendiri. Jika manusia mampu mengenali dirinya sendiri. Pastinya manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi, dalam kenyataannya mereka bahkan tidak yakin apa yang baik dan yang buruk bagi mereka. Sehingga bagi kaum muslim, salah satu dalil yang menguatkan bahwa manusia tidak pernah mengenal diri mereka adalah fakta Allah untuk mengutus nabi.  Sebagaimana yang kita ketahui bahwa diutusnya nabi adalah untuk menyempurnakan Akhlak manusia.
Salah satu contoh pengetahuan nabi yang disampaikan kepada umat manusia adalah konsep tazkiyatun al- nafs. Hakikatnya tazkiyatun al- nafs baik bagi mereka dan bahwa mereka wajib menjalankannnya. Dengan kata lain mereka perlu mengembangkan diri yang mencakup penyucian diri, atau menjahui segala sesuatu yang buruk dan mengembangkan diri hingga mencapai sesuatu yang baik. Apabila manusia mengandalkan diri sendiri tanpa bantuan Allah, maka manusia tidak akan tahu tentang masalah- masalah yang bersifat eksatologis, dan akibat- akibat buruknya di akhirat. Oleh karena itu risalah kenabianlah memiliki peran untuk menyampaikan hal yang semacam ini.
Dalam pandangan Ibn Arabi, entitas kedekatan para nabi tidak bisa mencapai tingkat tenggelam dalam nama Tuhan, dan kerenanya, entitas Allah tidak memenuhi nama ini (an- nabi). Padahal dalam kenyataannya, Allah menggunakan nama al- wali untuk menunjukkan limpahan kasih sayang-Nya kepada hambahamba-Nya dan sebagai pemberian pahala yang berhak mereka terima. Bagi mereka Allah menjadi wali, kekasih, dan penolong. Sehingga Allah hanya ridha kepada manusia yang dicintainya dan selalu mengerjakan apa saja yang dapat mengantarkan pada keridhahan Allah. Atas dasar itulah Allah diberikan nama alwali bukan an- nabi. Perlu dikuatkan lagi bahwa semua nama Allah adalah baik dan sekaligus menjadi rahmat bagi semuahamba- Nya. Sebab Allah adalah Zat Yang Paling Baik, PemberiRahmat, dan baik kepada segenap makhluk –Nya.
Selain kata al wali, Ibn Arabi menisbatkan kepada para wali dengan nama al- warits. Ia menegaskan bahwa, dengan nama ini, proses kenabian masih berlangsung di tangan para wali. Kemudian ibn Arabi membandingkan wali sufi (wali ilmu batiniah) dengan para sahabat r.a. menurutnya, wali sufi mereka merupakan bentuk lain kenabian secara umum dan memiliki tingkatan derajat lebih tinggi dari pada sahabat. Para sahabat dianggap lebih rendah dikarenakan, mereka mengambil kenabian sebagai suatu warisan dari Nabi saw dan bukan langsung dari Allah. sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli wali batin, baik secara lisan kerena mereka adalah sahabat yang menyaksikan Rasullullah saw secara langsung atau melalui mimpi.

2.3 Kenabian Menurut al-Ghazali
Al-Ghazali dikenal sebagai pembela terbesar bagi kaum asy’ariah secara umum, dan pertengahan akhir pada abad ke-5 H secara khusus. Dan seperti diketahui bahwa orang-orang Asy’ariah bertolak belakang dengan teori al-Farabi dalam masalah kenabian, menurut mereka teori yang dipaparkan oleh al-Farabi bertentangan dengan cara-cara wahyu yang diterima dalam al-Kitab dan as-Sunnah.  Akan tetapi serangan yang dilakukan oleh al-Ghazali tidak serusak sebagaimana yang ia lakukan pada para filosof, dikarenakan walaupun ia memusuhi teori tentang kenabian menurut al-Farabi, tetap masih tidak bisa terlepas dari pengaruhnya.
Meskipun begitu, Fazlurahman dalam Prophecy In Islamnya mengutarakan bahwa Ghazali adalah penerus pemikiran Ibn Sina didalam konsep kenabiannya.  Seorang nabi bisa berhubungan dengan Allah secara langsung atau dengan perantara seorang malaikat, tanpa memerlukan potensi imajinasi apapun.
Dalam kitabnya al-Munqidz min ad-dholal, menerangkan satu sub bab mengenai hakikat kenabian, al-Ghazali menerangkan bahwa panca indra merupakan asal ciptaan yang Allah berikan pada manusia, selain itu Allah belum memberikan wasilah apapun untuk mengetahui sesuatu kecuali akan Diri-Nya, baru setelah itu melalui perantara pengetahuan akan sesuatu, mengenai segala macam jenis wujud yang dapat terlihat dan dirasakan, seperti halnya panas, dingin,dan sebagainya, setelah itu Allah ciptakan indra mata untuk melihat berbagai bentuk dan warna, telinga untuk mendengar suara-suara. Dan Ia pun menciptakan dzauq (intuisi), untuk merasakan apa yang diperoleh manusia, maka disinilah bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Setelah itu semua tercipta, penciptaan-Nya mulai meningkat pada tahap yang lebih tinggi, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia bisa menjalankan kewajibannya, serta mengetahui apa yang mustahil untuk diperbuat dan hal baik yang bisa dilaksanakan.
Akan tetapi diawal bukunya itu al-Ghazali sendiri meragukan panca indera sebagai sumber pengetahuan, karena ternyata pengetahuan yang diperoleh oleh panca indera tersebut berdusta, karena tidak selalu sesuai dengan realita yang ada.  Dan pada akhirnya Allah memberikan nur, yang al-Ghazali sebut sebagai kunci ma’rifat kedalam hatinya yang sedang dalam kebimbangan akan sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal secara faktual dan dapat depercaya. Dan pada akhirnya bagi al-Ghazali al-dzauq (intuisi), lebih dipercaya kebenarannya dalam menangkap pengetahuan, dan ini yang berlaku pada para nabi melalui wahyu disebut juga al-nubuwwat, dan pada manusia biasa disebut ilham.
Disini al-Ghazali menetapkan bahwa kenabian adalah persoalan yang dapat diterima secara agama dan secara rasional, ini dapat dilihat lebih dalam bahwa kenabian merupakan fenomena psikologis.


                                                         BAB III
                                                       PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya:
3.1.1 Nabi adalah seorang yang diutus Allah demi kemaslahatan kehidupan dunia dan untuk memberi peringatan tentang akhirat serta seorang pilihan yang memiliki jiwa mulia, berpengetahuan, dan lebih mampu daripada orang lain pada zamannya dikarenakan kemuliaan jiwanya.
3.1.2 Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa kedudukan wali itu lebih tinggi daripada kedudukan seorang nabi. Karena kesempurnaan dan kesucian hanya ada pada wali bukan kenabian.
3.1.3 Al-Ghazali menetapkan bahwa kenabian adalah persoalan yang dapat diterima secara agama dan secara rasional, ini dapat dilihat lebih dalam bahwa kenabian merupakan fenomena psikologis.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap agar kita dapat mengetahui dan memahami Teori kenabian (antara nabi dan filosof) menurut pandangan filososf dan sufi. Disamping itu, pembaca diharapkan  untuk mencari refrensi-refrensi lain serta memberikan saran kepada penulis untuk menyempurnakan makalah ini.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Butir soal Maharah Kalam